Ketua Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kabupaten Pasuruan, Ahmad Adip Muhdi mengatakan, bahwa di dalam Islam terdapat sejumlah sekte atau kelompok. Masing-masing kelompok memiliki pedoman yang dianutnya.
Penekanan tersebut disampaikan kepada mahasiswa Institut Teknologi dan Sains Nahdlatul Ulama (ITSNU) Sekolah Tinggi Agama Islam Salahudin (STAIS) Pasuruan, saat mengampu materi Aswaja, Selasa (16/11/2021).
Disebutkan, bahwa pedoman kelompok Ahlussunnah wal Jamaah adalah kitab Kutubus Sittah, yakni Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah.
Sedangkan kelompok Syiah berpedoman pada kitab Shahifah An-Numus, Shahifah Abithah, Ja’far Al-Abyad, dan Mushaf Fatimah. “Kelebihan Syiah adalah bisa menghafal keturunannya hingga Rasulullah SAW, termasuk tanggal lahir dan hari wafatnya,” ujar Adip.
Menurut Adip, kelompok Syiah adalah kelompok yang tidak mengakui Khulafaur Rasyidin, dan beranggapan bahwa kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. “Khulafaur Rosyidin itu dianggap mengambil hak Sayyidina Ali sebagai pemimpin,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Adip juga menjelaskan tentang kelompok Khawarij, yakni kelompok kaum pembuat bid’ah. Disebut demikian karena keluar dari agama Islam dan keluar dari barisan Muslimin.
“Bagi mereka, yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits itu dianggap kafir, baik dosa kecil atau besar,” katanya.
Adapun kelebihan kelompok khawarij yaitu memiliki pemikiran yang modern, dengan mengenalkan konsep demokrasi yang salah satunya diterapkan di Indonesia. “Mereka ini menantang kepemimpinan sistem monarki atau kepemimpinan turun temurun,” jelas Adip.
Menurutnya, ada perbedaan antara Ahlussunnah wal Jamaah dengan Khawarij. Jika Khawarij beranggapan orang yang melakukan dosa itu kafir, maka Ahlussunnah wal Jamaah tidak demikian, dengan beranggapan orang yang melakukan dosa itu tidak kafir karena dosa itu sendiri ada tingkatannya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan pula tentang kelompok Muktazilah. Menurutnya, kelompok ini adalah yang paling rasionalis. “Di Muktazilah, apabila ada orang yang melakukan dosa besar berada di dua tempat. Kalau masih hidup berada di antara iman dan kafir, sedang jika sudah wafat berada di antara surga dan neraka,” terangnya.
Terkait Wahabi, menurutnya kelompok ini adalah kebalikan dari Muktazilah. Disebut demikian karena dalam memaknai Al-Qur’an tidak boleh ditakwil atau ditafsiri, harus sesuai dengan teks asli dalam Al-Qur’an.
“Semisal kalimat Yadullah dimaknai tangan Allah, sedangkan Ahlussunnah wal Jamaah ditakwil sehingga bermakna kekuasaan Allah SWT,” pungkasnya.