Sebagai salah satu Badan Otonom (Banom) Nahdlatul Ulama, ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama), di semua tingkatannya, diharapkan mampu memerankan fungsi utamanya membantu NU dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya pada kelompok sarjana atau komunitas intelektual. Dalam usianya yang sudah menginjak 13 tahun sejak ditetapkannya pada Muktamar ke -32 NU di Makassar tahun 2010, fungsi tersebut agaknya masih belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, penting kiranya semua elemen yang ada di ISNU bergerak bersama-sama untuk mengoptimalkan kembali fungsi-fungsi tersebut sehingga mampu menghadirkan jati diri ISNU sebagai pintu masuk (gate way) menuju NU yang lebih mandiri dan berkeadaban.
Setidaknya ada tiga langkah yang perlu dilakukan terkait optimalisasi fungsi ISNU sebagai gate way menuju kemandirian NU. Langkah pertama tentu saja adalah memperjelas dan mempertegas sasaran atau tarjet dari setiap kegiatan ISNU di semua jenjang kepengurusan. Kalau perlu dizoom supaya kelihatan lebih jelas sebab seringkali apa yang diprogramkan dan diagendakan oleh ISNU tidak tepat sasaran ke komunitas sarjana atau intelektual sebagaimana yang diamanahkan oleh PD/PRT ISNU tapi sudah meluas ke berbagai sektor yang lain bahkan tumpang tindih dengan kegiatan Banom yang lain.
Sebagaimana dimaklumi, jumlah Banom maupun Lembaga di bawah naungan NU pada setiap jenjang kepengurusan bisa mencapai belasan jumlahnya dan masing-masing memiliki sasaran kegiatan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, tatkala tiap-tiap Banom dan Lembaga tersebut tidak disiplin dalam menjalankan programnya, maka yang terjadi adalah saling tumpang tindih dan saling sengkarut. ISNU tidak boleh terjebak pada kegiatan-kegiatan seremonial yang tidak berkarakter intelektualistik.
Langkah kedua, setelah fokus pada kegiatan pengembangan intelektualisme yang sasarannya adalah komunitas sarjana NU, maka ISNU bisa menindaklanjuti dengan melakukan internal analysis secara lebih detail seperti apa problematika sarjana NU yang ada di
masyarakat. Sejauh ini problematika tersebut dihadapi secara individual oleh para sarjana NU, namun alangkah indahnya tatkala ISNU hadir di tengah-tengah mereka sebagai organisasi yang peduli pada urusan mereka.
Yang ketiga, perlu juga mencermati tipologi sarjana NU yang menyebar di masyarakat agar tidak salah sasaran untuk yang kedua kalinya. Kreterianya seperti apa? Apakah yang disebut sarjana NU itu adalah sarjana yang lulus dari Perguruan Tinggi yang berlabel NU (PTNU)? Kalau itu definisinya, maka jumlah sarjananya relatif sedikit karena jumlah PTS-NU yang telah meluluskan sarjana juga baru sedikit. Dalam konteks ini, PTNU meliputi universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik dan akademi yang jumlahnya tidak lebih dari 179. Lalu bagaimana dengan status warga NU yang lulus dari PTN atau PTS yang lain terlebih PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah)? Bukankah mereka juga sarjana NU?
Menurut hemat penulis, identifikasi sarjana NU harus didasarkan pada background keluarganya karena itu merupakan institusi pendidikan pertama (madrasat al-ula) yang telah mendidiknya, bukan atas dasar institusi perguruan tinggi yang meluluskannya. Karena memang faktanya warga NU yang kuliah di PTN atau PTS di luar PTNU juga sangat banyak jumlahnya. Bahkan sebagian dari mereka adalah alumni PT Luar Negeri. Idealnya mereka semua harus dirangkul dalam wadah ISNU.